Dari Kampung Mataraman untuk Merawat Keragaman
Tidak sampai jam 14.00 saya tiba di lokasi setelah melewati Terik matahari. Sebuah lingkungan yang teduh dibandingkan dengan cuaca sepanjang perjalanan. Dua orang (saya yakin itu panitia) menyambut dengan ramah sambil menyerahkan paper bag.
Seseorang yang lain mempersilakan saya mengambil minuman, wedang uwoh warna merah! Saya membuka paper bag yang panitia berikan dan heran tatkala melihat isinya. Bukan musabab jajanan tradisional yang ada di dalamanya, melainkan juga permainan tradisional dari bambu—kata MC itu permainan otok-otok pengganti tepuk tangan.
Sejak awal tiba, saya terhipnotis oleh konstruksi dengan nuansa klasik. Balai-balai bambu, ragam tanaman, hingga pohon yang membuat teduh. Selain lokasi yang memang sangat dekat dengan alam, desain acara juga mengambil tema tradisional. Bahkan, suguhan yang diberikan kepada tamu-tamu VIP juga merupakan suguhan alami.
Saya meyakini bahwa ada kampanye di balik ini. Tidak lain karena yang mengadakan adalah Sekretariat Nasional (Seknas) Gusdurian bekerja sama denga Kampung Mataraman (di bawah naungan keluruhan Penggungharjo).
Dua-duanya memberikan perhatian yang luar biasa terhadap isu lingkungan dan keberagaman. Di hadapan Duta Besar Belanda, Bea Ten Tusscher, dan Alissa Wahid, perwakilan Panggungharjo tidak malu-malu untuk mempromosikan kelurahannya. Masyhur dengan pengelolaan sampahnya yang bagus dan sistematis di Yogyakarta.
Namun, kampanye lingkungan bukan acara inti pada kesempatan tersebut. Acara intinya tidak lain adalah Festival Beda Setara dengan tajuk “Indonesia Rumah Bersama” yang dihelat untuk merayakan Hari Toleransi Internasioanl.
Acara yang dikemas dengan luar biasa dengan berbagai penampilan, mulai dari nyanyi, flashmob, jathilan hingga doa bersama lintas iman. Hafi, salah seorang panitia, menyebut acara tersebut dipersiapkan tidak kurang dari sebulan.
Tidak heran jika acaranya kemudian meriah dan dihadiri oleh banyak undangan serta warga. Acara inti pada Festival Beda Setara ini adalah Orasi Kebangsaan oleh Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian. Ia dengan artikulatif menyampaikan bahwa keragaman adalah keniscayaan. Keberagaman sudah ditetapkan oleh Tuhan dan kita harus menerimanya tanpa syarat.
Ia juga merespon isu Pemilu di dalam orasinya. Bagi Alissa, yang paling penting bukan siapa orangnya, melainkan apa kerjanya. Bisa tidak pemimpin yang nantinya terpilih bisa mewujudkan Indonesia sebagai rumah yang aman bagi bersama.
Dengan langkah seperti ini, politik kita tidak terjebak pada kontestasi lima tahunan. Lebih dari pada itu, politik kita untuk kemasalahan bersama dan demi keberagaman. Pandangan-pandangan seperti ini hendaknya senantiasa dikampanyekan untuk merawat keragaman.
Di Indonesia, sebagaimana ibu Bea Ten Tusscher katakan, orangnya ramah dan toleransinya kuat. Toleransi di sini seperti hal yang terjadi secara natural. Kendati demikian, hal tersebut harus tetap kita jaga dari gerakan-gerakan yang merusak keberagaman dan persatuan.
Sebab itu, Festival Beda Setara yang dihelat di Kampung Mataraman ini adalah salah satu upaya untuk merawat keberagaman. Sebagaimana saya sampaikan di judul, Dari Kampung Mataraman untuk Merawat Keragaman(*).
Comment (1)
[…] BACA JUGA: Dari Kampung Mataraman untuk Merawat Keragaman […]