Jadi Buah Bibir, Kenapa Tidak?
Sejak adanya imbauan untuk social distancing atau belakangan lebih tepat disebut physical distance, saya memutuskan untuk mengikutinya. Terlebih kondisi saya yang waktu itu baru pulang dari Pulau Dewata. Sementara pandemi covid 19 baru hangat melanda tanah air.
Tidak lama kebijakan baru muncul, kampus-kampus dan sekolah memberi ‘libur’ kepada para mahasiswa dan murid. Kurang tepat jika dibilang libur, melainkan mengganti kelas tatap muka dengan kelas via online. Kampus saya termasuk kampus gelombang akhir yang menerapkan kebijakan ini. Saat kampus lain sudah mulai menggeser kelas berbekal kuota, kampus saya masih setia dengan pertamax atau pertalit.
Kehebohan sempat terjadi mana kala seorang dosen berkabar ke kolega kampus bahwa ada satu mahasiswinya yang baru pulang dari luar kota namun masuk kampus seperti jadwal biasanya. Dosen itu harusnya ada jadwal mengajar di kelas saya, namun hari itu tidak hadir.
Ada dua dosen lain yang mengontak saya, satu via WA dan satu tatap muka di ruang dosen. Keduanya sama-sama mengkonfirmasi apakah benar jika saya baru pulang dari Bali.
“Iya, kan seminggu lalu saya tidak masuk. Ada surat izinnya.” Saya mencoba menjelaskan.
“Lalu kenapa kamu tidak karantina mandiri?”
“Karantina mandiri?”
Wah saya merasa mulai ada yang tidak beres. Sebegitu parnokah dengan orang yang baru dari luar kota? Jika kejadian itu terjadi hari ini, tidak perlu harus nunggu heboh saya sudah pasti mengurung diri di rumah tanpa niat ketemu siapa pun. Tapi kejadian waktu itu semua masih aman walau sudah sedikit mulai bergejolak.
“Saya baik-baik saja. Suhu tubuh normal. Tidak ada perasaan apa pun.” Lagi-lagi saya mencoba untuk memberi keterangan.
“Saya paham. Tapi tetap ada dosen yang waspada. Ini kamu sedang dibahas di grup dosen.”
baca juga corona di perayaan Isra Mi’raj
What? Apa-apaan? Jika ditanya: siapkah kau jadi buah bibir? Siap-siap saja asal gara-gara viral senderan bahu Hyun Bin.
Saya tidak keberatan jadi sorotan atau bahan obrolan orang lain. Tidak masalah jadi buah bibir. Tapi sungguh saya menolak jika harus masuk ‘lambe turah’ hanya gara-gara settingan atau kesandung kasus. Jika jadi buah bibir karena prestasi, itu baru tujuan saya. Bagaimana jika jadi buah bibir karena virus? Sungguh saya tidak pernah mengharapkannya.
Hari ini berbeda dengan kejadian tiga minggu lalu. Hari ini pula genap sebulan saya dari Bali. Tubuh saya sehat. Pikiran saya jernih. Hanya kebosanan sedikit mulai melanda. Saya benar-benar karantina, karena biasanya juga begitu. Tidak ada interaksi dengan orang lain kecuali keluarga. Tidak ada acara main ke pasar, baca buku di perpustakaan, nonton di bioskop. Bahkan saya terpaksa cancel beberapa acara yang menghasilkan uang. Sungguh menyedihkan, memang. Padahal tidak jarang saya menggantungkan makan dari panggung ke panggung.
Tapi setelah kejadian ini, saya lebih banyak-banyak bersyukur. Beruntung saya bukan tipe orang ngeyelan meski sering protes. Ketika harus karantina dan jaga jarak, saya taat anjuran. Seperti info yang beredar, tubuh sehat belum tentu bebas corona. Orang dengan kondisi sehat bisa saja jadi inang atau carrier bagi virus. Inilah yang lebih berbahaya. Orang tanpa gejala apa pun bisa diam-diam menularkan. Itulah kenapa social distance diberlakukan.
Lantas sudah siapkah kau jadi buah bibir?
Jika kamu baca postingan ini, cobalah renungkan pertanyaan di atas. Sepertinya jaga diri kita dan keluarga adalah lebih penting dibanding pansos. Untuk sesaat tidak apa jadi buah bibir hanya karena tidak mau kemruyuk (baca: ramai-ramai). Dari pada jadi buah bibir karena corona.
Mulai pencegahan dari dirimu. Corona virus adalah musuh bersama. Kita harus bareng-bareng menghancurkannya. (min)
Comments (2)
Untung aku ngga di asingkan, malah ditagihin buah tangan. Apa karena kekuatan buah tangan, aku jadi tertolong ahahahha.
sasi, itu karena kamu bareng keluarga. Coba kalau sama rekan kerja atau apalah gitu