Kontestasi Politik, Melegalkan Kecurangan?
Kontestasi Politik Indonesia
Kontestasi politik Indonesia tampak sedang bergejolak demi memenangkan jagoannya masing-masing. Para pendukung dan Tim Sukses dari masing-masing pengusung paslon kerap melakukan berbagai upaya pemenangan, bahkan mirisnya beragam kecurangan pun kian marak terjadi. Mulai dari menabrak hukum konstitusi, hingga banyak pemalsuan data saat terjadinya pemilihan umum.
Hal ini nampaknya suatu hal yang bias, sebab yang demikian pun sering terjadi saat menjelang pemilu. Namun, apakah kecurangan akan terus langgeng dan menjadi sesuatu yang lumrah?
Melansir dari BBC News Indonesia, menurut pengamatan dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, terdapat sekitar tujuh provinsi yang menemukan bahwa tak sedikit surat suara telah tercoblos, juga ada yang tertukar bahkan hilang. Selain itu, ada kotak suara yang tidak tersegel, tempat pemungutan suara yang lambat, bahkan disabilitas yang tidak mendapatkan akses dalam memilih (BBC News Indonesia, 2024).
Di beberapa wilayah Tanah Air kerap menemukan kecurangan saat pemilihan umum terjadi. Meski demikian, presiden Joko Widodo pun telah meyampaikan bahwa jika terdapat kecurangan maka hendaklah agar melaporkan kejadian tindak kecurangan tersebut. Namun, banyak dari masyarakat bingung karena tidak tahu harus melapor ke pihak mana, sebab jangankan melapor kecurangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sedangkan ketua MK nya saja dengan mudahnya melanggar hukum konstitusi demi meloloskan salah satu yang menjadi cawapres dalam pemilihan presiden.
Ironisnya, dalam hal ini presiden Joko Widodo bersikap memihak kepada salah satu paslon yang mana terdapat anaknya yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari calon presiden (capres) Prabowo Subianto. Sehingga beragam cara untuk memenangkan kontestasi politik pun terjadi dengan beragam cara mulai dari menabrak hukum Mahkamah Konstitusi (MK), politisasi bansos, dan lain sebagainya.
Apakah ini pertanda nepotisme semakin langgeng di bumi pertiwi? Pastinya masyarakat juga dapat menilai secara bijak, dengan adanya berbagai fakta dan data yang ada tersebar di berbagaii lini.
Bagaimana dengan money politic?
Dalam diskusi bersama media yang bertajuk Peran Nyata Kampus dalam Penentuan Nasib Demokrasi Indonesia, yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, mengungkapkan bahwa, adalah hal yang umum dalam kontestasi pemilu kerap menggunakan praktik money politic atau politik uang untuk menggaet para partisipan. Problema ini, tidak mudah untuk diawasi, sebab minimnya tingkat pengawasan dari Bawaslu akibat terbatasnya SDM. Maka daripada itu, masyarakat juga hendaknya dapat mengawal jika menemukan praktik politik uang maupun pelanggaran lainnya (Grehenson, 2024).
Kebenaran akan selalu menemukan jalannya, begitupula dengan kejahatan ia pun akan menemukan titik terjalnya.
“Mata mereka silau melihat kejahatan dan dosa-dosa mereka sendiri. Mereka lebih suka menyembunyikannya dan tak melihatnya. Tak mengingatnya dan tak membukanya. Jangankan membukanya kepada orang lain, kepada diri sendiri pun, masing-masing enggan dan tak hendak mengakuinya.” ― Mochtar Lubis
Referensi
BBC News Indonesia. (2024). Dugaan kecurangan di Pemilu 2024 disebut “lebih parah” – Apa saja bentuk pelanggaran yang terjadi saat pencoblosan? BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv2l1dyn8r4o
Grehenson, G. (2024). Masyarakat Diajak Mengawasi Praktik Kecurangan Pemilu. Ugm.Ac.Id. https://ugm.ac.id/id/berita/masyarakat-diajak-mengawasi-praktik-kecurangan-pemilu/
Comment (1)
[…] dijelaskan dengan tegas pada paragraf pembuka bahwa sulit untuk menghapus dan menolak politik uang. Tiga alasan yang saya kemukakan di sini cukup untuk memberikan gambaran rumitnya persoalan […]