Lagi, Fatwa MUI dan Jalan Mundur Toleransi
Baru selesai ramai-ramai persoalan dengan 44 bisku, MUI kembali menyulut api. Beberapa hari lalu mereka mengeluarkan fatwa keharaman salam lintas agama dan ucapan hari raya. Sejatinya, dalam persoalan ini tidak apa-apa ada perbedaan pendapat. Namun, hal yang paling kita sayangkan ialah karena tidak adanya urgensi yang melatari fatwa tersebut.
Begini, biasa dalam fatwa itu ada orang yang meminta fatwa—istilah Arabnya mustaftī. Kalaupun tidak ada yang meminta, minimal terkait persoalan yang mendesak. Ada sebuah persoalan yang butuh soslusi atau fatwa maka pada saat itulah fatwa hadir. Nah, dalam persoalan salam lintas agama dan ucapan hari raya ini tidak ada keharusan yang mendesak.
Memang Begitu MUI
Ibarat kata petir di siang bolong. Karenanya, sebetulnya tidak perlu MUI memberikan fatwa semacam itu. Tapi ya bukan MUI namanya kalau tidak memantik kritikan. Hal semacam ini sudah berkali-kali menimpa MUI. Fatwa Nomor 7 Tahun 2005, misalnya, tentang keharaman sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ini merupakan fatwa yang banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan.
Dawam Rahardjo, misalnya, menulis di Tempo dua hari setelah fatwa tersebut naik ke ruang publik. Menurut intelektual multidimensional itu, fatwa MUI keluarkan kontra dengan semangat kebebasan berpikir. Sementara kebebasan berpikir secara konstitusional memang dilindungi. Selain itu, tahun1981-an, MUI juga menerbitkan fatwa larangan menghadiri natal—meskipun undangan.
Apa yang hendak saya tunjukkan ialah tabiat MUI yang kerap memantik kontroversi. Mereka seringkali melakukan akrobat-akrobat yang menurut mereka perlu. Padahal seharusnya tidak di suatu yang adem ayem seperti ini. Kalau terus-terusan begitu cara mainnya, gesekan-gesekan tidak akan terhindarkan.
Untungnya, dalam persoalan fatwa salam lintas agama dan ucapan ahri raya ini Kementerian agama memberikan dissenting opinion. Artinya, masih ada satu celah terjadinya perbedaan (ikhtilaf). Ini sekaligus angin segar bahwa masih ada diskusi hangat dan perdebatan sengit.
Fatwa Tidak Mengikat
Hal menguntung lain, kendati tidak sepenuhnya, ialah natur fatwa yang sejatinya tidak mengikat. Ini berarti bahwa fatwa yang MUI keluarkan tidak wajib untuk kita ikuti. Itu hanyalah sebuah opini yang absah apabila kita tinggalkan. Kendati demikian, kita tidak bisa meremehkan otoritas MUI dalam memberi fatwa ini.
Dalam kasus Ahok dan Ahmadiyah, misalnya, banyak sarjana menyebut peran penting fatwa MUI. Walaupun, MUI sendiri berkali-kali mengelak atas persepsi tersebut. Sejujurnya, hal tersebut tidak bisa mereka hindari. Musabab, ketika MUI mengeluarkan fatwa masyarakat akan beranggapan bahwa hal tersebut kebenaran tunggal.
Dengan posisi MUI yang belakangan nampak memukulk mundur toleransi, kita berharap ada opini tandingan. Fatwa tandingan dari ormas gigantis semacam NU dan Muhammadiyah. Kalau tidak kepada mereka kita pasrahkan masa depan toleransi ini, kepada siapa lagi?
Comment (1)
[…] toleransi kaitannya dengan komunitas beragama, ada satu teori favorit saya. Teori ini dikembangkan oleh Alan […]