free page hit counter

MUI dan Jalan Mundur Toleransi

MUI dan Jalan Mundur Toleransi

Gegap gempita perayaan Waisak 2024 ternyata menyebabkan ketidaknyamanan di sisi lain. Ceritanya, terdapat rombongan 44 biksu yang singgah di masjid Baiturrohmah Bengkal, Temanggung. Sebagai bentuk penghargaan, pengurus masjid membolehkan mereka singgah. Tidak hanya singgah melainkan mendapat jamuan berupa makanan ringan dan minuman.

Siapa sangka, bentuk ramah tamah tersebut justru mengundang atensi negatif. Sebagian orang menganggap bahwa itu merupakan bentuk toleransi yang kebablasan. Apalagi, konon para biksu ini mendoakan warga sebagai bentuk terimakasih. Atensi negatif ini tidak datang dari orang di akar rumput, melainkan elit dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis.

Saya mendapati berita tersebut dari Tirto.id. Alih-alih melihat itu kebablasan, malah sebaliknya. Justru respon MUI itulah yang kebablasan dan semestinya tidak muncul. Pertanyaan saya adalah apa yang hendak kita persoalkan dari adegan tersebut? Apa hanya semata-mata karena mereka mendoakan warga? Saya berkesimpulan, melihat dari sudut mana pun tidak ada salahnya.

Satu-satunya salah ialah respon MUI yang menganggap hal itu kebablasan. Bahkan, seandainya para biksu itu memberikan wejangan pun tidak masalah. Tidak ada ceritanya iman tiba-tiba runtuh hanya karena mendengar wejangan dari biksu-biksu itu. Kalau iman Anda terlalu rapuh, ya saya tidak tahu. Kendati begitu, saya mewajarkan sikap MUI. Musabab, MUI memang keseringan bersikap demikian.

Lagu Lama MUI

MUI mengeluarkan fatwa dengan Nomor 7/Munas VII/2005 pluralisme, liberalisme, serta sekularisme agama. Oleh para peminat studi lintas agama, fatwa ini sering mendapat kritikan. Bukan semata-mata tidak presisi mendefinsikan tiga kategori tersebut, melainkan juga sikap antipati MUI. Di sisi lain, MUI juga mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah (utamanya Qadian).

Dari sepak terjang tersebut, sejatinya kita bisa membaca bagaimana watak dasar dari majelis ulama ini. Sehingga, ketika terdapat elit MUI yang menganggap jamuan atas biksu berlebihan, sejatinya itu bukan barang baru. Dalam pandangan cetek saya, majelis ulama ini punya bentuk toleransinya sendiri. Sebagaimana diungkapkan Cholil Nafis bahwa toleransi tidak boleh masuk ke ranah syariat dan akidah agama lain.

Sayangnya, ia lupa bahwa mampir di tempat ibadah (ingat semata-mata mampir!) bukan ibadah. Rombongan biksu tidak sedang melakukan aktivitas ibadah mereka. Pengurus masjid juga tidak sedang meminta mereka menjadi imam masjid. Adegannya sangat sederahan: mampir lalu mendapat jamuan hangat dari pengurus masjid.

Kita boleh berdebat soal apakah nonmuslim absah singgah di masjid atau tidak. Sebab persoalan tersebut memang terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama. Namun, dalam hal ini perdebatan semacam itu tidak kita perlukan.

Kalau memang ngotot menganggap itu kebablasan dan bukan bentuk toleransi, saya kira toleransi ala MUI-lah yang harus berbenah. Jangan-jangan selama ini toleransinya jalan di tempat—syukur-syukur kalau tidak mundur.

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *