Menemukan Ramadan
Ramadan telah dan masih akan kita lalui. Sementara itu, silakan direnungkan kembali–apakah Anda sekalian ini sudah mengenali betul bagaimana bentuk hakiki dari Ramadan? Atau jangan-jangan, Ramadan hanya Anda jadikan sebagai alat untuk ajang insaf sesaat, tanpa pernah Anda ciptakan pertanyaan dan Anda susun jawaban mengenai apa itu insaf dan apa hubungannya dengan waktu yang ‘sesaat’.
Padahal, insaf tidak bisa diketemukan dengan dimensi waktu yang sangat relatif. Ia abadi. Jika seseorang telah insaf, berarti dia telah mengumumkan janji kepada Pemiliknya dan juga kepada dirinya untuk benar-benar progresif dan konsisten dalam melakoni kebaikan, serta dia tanamkan juga pada dirinya sebuah paku yang menahan apa yang telah diinsafinya: sikap semena-mena. Kalau-kalau dia kembali ke jalan yang salah lagi, berarti dia masih tak punya kedewasaan berpikir dalam meletakkan posisi insaf tersebut.
Di seantero Yogya, banyak dapat kita temui berbagai macam ekspresi masyarakat dalam “merayakan” Ramadan. Maksud merayakan di sini bukan mengarah kepada pesta yang selama ini telah jamak dimafhumi, melainkan sebuah upaya membentuk suatu budaya baru guna menghiasi Ramadan dengan warna-warni kreativitas masyarakat.
Misal di kampus-kampus, pada bulan ini, selalu mengadakan kegiatan full-day yang berkaitan dengan perayaan Ramadan: bisa dengan takjilan, buka bersama, ngaji kebangsaan yang dibungkus dalam salat tarawih berjamaah, serta berbagai kegiatan lainnya yang–kalau dilihat-lihat–sangat Ramadan-able.
Atau di kampung-kampung, pada bulan ini, kegiatan TPA-nya tampak lebih variatif bentuk pengajarannya: dari yang menjadikan murid sebagai obyek pembelajaran, kemudian “insaf” dengan menaruh posisi murid-muridnya sebagai subyek yang memungkinkan pengajar juga belajar darinya.
Media sosial kalau kita lihat juga tampak lebih adem ayem. Terbukti dengan isu-isu yang terpampang di permukaan adalah mengenai toleransi antar umat beragama, kerukunan masyarakat, atau bahkan saling geguyonan di dalam menghadapi perbedaan.
Inilah efek Ramadan.
Lantas kemudian timbul pertanyaan, mengapa hanya di bulan Ramadan saja? Tidak bisakah perilaku insaf yang juntrungannya sangat menentramkan ini berlanjut di bulan-bulan berikutnya?
Jangan-jangan ini merupakan akibat dari salah pemaknaan, bahwa Ramadan yang selama ini dipahami hanyalah sebagai momentum sesaat, bukan sebagai tonggak keabadian? Atau sebenarnya kita tidak menyadari kalau puasa yang sesungguhnya justru ada di bulan-bulan selain Ramadan.
Ah, agaknya pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan masuk di kuping kanan dan keluar di kuping kiri saja. Sebab kita terlampau malas untuk menyelami kedalaman makna hakiki Ramadan.
Bulan yang disebut-sebut suci ini nyatanya tidak bisa menjadi pacuan bagi manusia untuk berupaya terus tambah baik. Toh kita puasa sekarang hanya untuk supaya setelah bulan puasa ini kita bisa lampiaskan seluruh nafsu yang kita tahan-tahan di bulan ini (biar dapat pahala, thok, kan? Jujur saja), bukan?
***
Oleh sebab itu, memasuki bulan Ramadan, sungguh-sungguh merupakan ajal atau momentum yang pas untuk merenung: menghadap cermin kesejatian diri, menyelam dan melintasi dimensi bawah sadar di lubuk hati, sampai kemudian dapat kita elaborasi dan kita pantulkan ke dalam kehidupan keseharian.
Mekanisme dan penghayatan bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang suci merupakan bentuk upaya paling efektif untuk mengusir kuman-kuman kotor di lintasan akal pikiran kita, noda-noda negatif di pakaian mentalitas kita, serta hama-hama wereng di batin kita.
Dengan pengetahuan kita atas kuman dan virus di dalam kasunyatan diri itu, otomatis akan kita temukan unsur-unsur yang menjadi hulunya–segala penyebabnya. Yang eksternal seperti bujuk rayu duniawi maupun yang internal berupa bentuk asli nafsu-nafsu itu sendiri.
Ramadan mempertemukan manusia dengan sejatinya ketiadaan. Ramadan mempertemukan manusia dengan dimensi suci dan jernih. Dalam pertemuan itu, dia bukan saja bisa menghayati keadaan dunia yang penuh kebobrokan dan kehancuran, melainkan juga membuat para pelaku Ramadan menemukan “kebaikan sejati”. Sebagaimana para penghayat puasa menemukan “makanan sejati”. []
Tinggalkan Balasan