Radikalisme dan Segenap Kompleksitasnya
Tepat Selasa (21/05/2024) perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga mengadakan bedah buku. Ini merupakan acara yang terselenggara berkat kerjasama kampus dan Badan Nasional Penanggulangan Terorsime (BNPT). Tajuk acaranya ihwal kejahatan terorisme dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), hukum, hingga agama. Tidak luput dari menyoal radikalisme di Indonesia.
Dua narasumber yang menjadi penyaji acara ini merupakan orang yang fokus di bidangnya masing-masing. Narasumber pertama yakni dari ahli kriminologi, Prof. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D. Sementara itu, narasumber kedua merupakan dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Prof. Moh. Wildan, MA. Turut serta menjadi moderator, Dr. Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum.
Akar Genealogis
Materi-materi yang narasumber sampaikan terbilang analitis, alih-alih apologi. Prof. Adrianus memberikan sebelas poin kepustakaan terkait radikalisme. Ia memulia presentasinya dengan tragedi berdarah di Amerika Serikat. Ia menilai Insiden yang terkenal dengan sebutan 9/11 tersebut menjadi titik tolak diskursus radikalsime. Barat (AS) membanjiri publikasi-publikasi terkait dengan tema ini.
Hampir senada, Prof. Wildan juga merunut hal tragedi berdarah di Indonesia. Mulai dari tahun 2000 hingga bom Gereja Surabaya 2018. Ia juga mencoba melihat akar genealogis kelompok radikal di Indonesia. Mulai dari kelompok besutan SM. Kartosuwiryo hingga Jamaah Ansar al-Daulah (JAD). Hal yang tak kalah menarik dari presentasinya ialah soal faktor-faktor terorisme.
Kompleksitas Radikalisme
Kedua narasumber, menunjukkan kompleksitas faktor radikalisme. Setidaknya ada empat faktor yang menjadi motivasi gerakan radikal di Indonesia. Mulai hegemoni Barat terhadap negara muslim, jihad global, tafsir keagamaan, hingga persoalan lokal partikular. Dari gambaran ini dapat terlihat bahwa radikalisme memang tidak sesederhana hanya salah memahami agama. Ada banyak hal kompleks yang menjadi latar belakang.
Prof. Wildan juga mengurai empat benang merah dari ideologi terorisme. Pertama, Dar al-Islam (negara Islam) yang biasa merupakan antitesa Dar al-Harb (negara kafir). Kedua, hijrah yang menjadi strategi merangkai jamaah dan komunitas. Ketiga, khilafah yang merupakan antitesa terhadap demokrasi. Menurut mereka, demokrasi tidak sesuai dengan syariat Islam.
Itulah rangkuman dari acara yang dihelat oleh Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan BNPT RI. Sebagai penutup acara ini ialah tanya jawab peserta dan narasumber. Beberapa pertanyaan dari peserta memang menarik dan mengundang atensi serius dari pemateri. Pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan betapa kompleksnya persoalan radikalisme dan terorisme ini.
Tinggalkan Balasan