Rasialisme dan Sepakbola
Sepakbola merupakan salah satu olahraga yang sangat populer, baik itu bagi kalangan laki-laki maupun perempuan. Tidak jarang setiap kali terdapat kejuaraan mayor, selalu dihadiri oleh orang banyak. Selain digunakan sebagai ajang adu taktik dan kejelian pemain serta pelatih dalam menyusun strategi, sepak bola juga akhir-akhir ini dugunakan sebagai ajang untuk mengkampanyekan suatu hal.
Seperti yang tertera dalam Wikipedia, memasuki abad ke-21 olahraga sepakbola telah dimainkan oleh lebih dari 250 juta orang di 200 negara, yang menjadikannya sebagai olahraga paling populer di dunia. Tidak heran jika terkadang ada sekelompok orang yang terlibat adu fisik hanya karena berbeda dukungan terhadap tim sepak bola. Mereka biasanya akan mengikuti kemanapun tim yang dibelanya bermain.
Dalam dunia balbalan, apapun bisa terjadi, salah satunya adalah kasus rasisme. Bahkan seiring dengan perjalanan sepak bola itu sendiri, kejadian-kejadian yang bersifat rasialisme selalu mengikuti. Sudah banyak kasus-kasus yang terjadi, salah satunya pada laga antara Inter Milan dengan AS Roma, dimana pemain Inter Milan dan AS Roma, Romelu Lukaku dan Chris Smalling mendapat perlakuan yang tidak pantas dari Jurnalis Corriere dello Sport. Corriere dello Sport menjadikan gambar dari keduanya sebagai cover, tetapi dibagian bawah ditambahi dengan tulisan “Black Friday”.
Pada lanjutan laga Liga 1 yg mempertemukan antara Bali United dengan Borneo FC, tiga pemain Bali United merayakan golnya dengan gaya sedang melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal ini tentu saja mendapat perhatian dari dunia luar, salah satunya dari Washington Post, mereka dianggap sebagai pemain Indonesia yang menjadi simbol sebagai perdamaian dalam dunia sepak bola.
Bahkan di liga-liga Eropa, seperti di Jerman misalnya, salah satu klub di sana membangun ruang untuk beribadah bagi orang-orang Islam, yang mana kita ketahui bahwa Islam merupakan agama minoritas di negara Eropa. Sehingga untuk mencari ruang untuk beribadah tentu akan sulit.
Kasus rasisme yang baru-baru terjadi adalah ketika pertandingan pekan ke-21 Liga Nos primeira Portugal antara Vitoria Guimaraes melawan Porto, dimana penyerang Porto, Moussa Marega melakukan aksi keluar lapangan yang disebabkan karena diejek oleh suporter tuan rumah. Ia diejek idiot oleh para pendukung Vitoria Guimaraes, sehingga Marega memutuskan keluar dari lapangan. Marega mencetak gol kemengan untuk timnya, dan ia menunjukkan gestur jempol ke bawah yang kemudian hal itu membuatnya digajar kartu kuning oleh wasit. Padalah gestur itu ia tunjukkan bagi supporter tuan rumah yang telah mengejeknya. Masih banyak kasus rasisme yang sering menyerang pemain sepak bola. Entah itu menyerang perbedaan warna kulit, suku, sosial politik, ataupun agama.
Padahal federasi tertinggi sepak bola dunia (FIFA) telah mengeluarkan kampanye anti rasisme melalui slogan yang berbunyi “Say Noto Racism”. Kampanye-kampanye ini sering digaungkan di setiap pertandingan sepak bola, tujuannya jelas untuk mengurangi kejadian-kejadian yang seringkali melukai salah satu pihak pemain.
Bahkan dalam kode disiplin 2019 yang terbitkan oleh FIFA mengatakan bahwa, apabila terdapat seseorang yang mengancam martabat seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan kata-kata atau tindakan yang merendahkan, mendiskriminasi atau memalukan dengan cara apapun dengan alasan ras, warna kulit, etnis, agama, politik, atau alasan apapun, maka akan dikenai sanksi penagguhan minimal sepuluh pertandingan. Terkadang perbedaan bisa disatukan lewat berbagai macam cara, salah satunya sepak bola. Maka dengan adanya perbedaan di lapangan, tidak perlu lagi adanya ciutan-ciutan kecil yang bertujuan mengejek pemain yang berbeda. Entah itu berbeda dalam warna kulit ataupun berbeda keyakinan.
Comment (1)
[…] begitu pada kenyataannya dunia sepak bola Gunungkidul tidaklah semulus cabang olahraga lainnya. Kehadiran dan keberadaan atlet sangat […]