Stay at Limbo
Sekarang apa-apa serba online. Kuliah mulai online. Rapat sudah online. Olahraga juga online. Bahagia apalagi, harus online. Pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pencapaian kebutuhan dan pemenuhan keinginan manusia, sudah bisa di-online-kan. Memang di dalam sosio-kultur manusia berlaku suatu hukum bahwa manusia akan menampakkan ‘identitas’ aslinya saat sedang dihadapkan oleh bencana atau mara bahaya. Namun tak bisa disimpulkan juga kalau ‘identitas’ asli manusia adalah online.
Salah satu episode di serial Black Mirror juga bercerita semacam itu. Bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan pemenuhan hasrat kepuasan dirinya: harta, eksistensi, dan kekuasaan. Kebetulan saja ketiganya bisa dicapai dengan mudah melalui cara online.
Tanpa capek-capek keluar rumah, uang secara instan dapat langsung masuk ke kantong. Tanpa harus mengerahkan tenaga menggandakan wajah, kita bisa masuk dalam relasi kekuasaan. Meski juga tanpa memperlihatkan rupa asli kita, hanya bermodal satu-dua kata manis yang kita gelontorkan di Twitter, ribuan retweet dan follower bisa bertengger di dalam etalase hidup kita.
Kalau ada yang mudah, kenapa harus pilih yang susah bukan?
Di masa karantina ini, kita harus waspada. Sebab tanpa kewaspadaan bisa saja kita masuk ke dalam limbo. Suatu wadah di mana kesadaran kita hilang dalam kegelapan. Kalau menurut Christoper Nolan dalam Inception (2010), Limbo merupakan sebuah kawasan impian, sebuah kawasan alam bawah sadar tak terhingga, dimana seorang pemimpi bisa memanifestasikan hasratnya yang terdalam, tetapi kalau sampai tidak waspada, bisa-bisa kesadaran kita larut sehingga menjadi bias antara kenyataan dan mimpi. Antara online dan offline. Antara identitas dan personalitas.
Limbo, dalam kaitannya dengan situasi akhir-akhir ini, sangat menjadi ancaman bagi kita. Selama kita tidak punya kontrol atas sehatnya pikiran dan warasnya rasionalitas. Selama kita melepas pengendalian diri terhadap gejolak emosi dan kita terus ragu-ragu mengambil langkah-langkah, kita adalah target empuk bagi Limbo, kita ayam panggang kecap dengan sambal terasi dan nasi kebuli yang dihidangkan kepada monster rakus bernama stress dan kelimpungan.
Bahkan sang Taufik Ismail mengabarkan: Selama ini kita selalu ragu-ragu // dan berkata: // dua tambah dua // mudah-mudahan sama dengan empat. Betapa manusia selalu bersikap ragu-ragu terhadap kemantapan. Betapa keragu-raguan ialah induk dari sifat teledor. Dari titik ini // Sedang kita tarik garis lurus // Ke titik berikutnya // Segala komponen // Telah jelas. Dalam soal // Yang sederhana.
Keragu-raguan memang wajar, tapi wajar bukanlah sesuatu yang kudu dimaklumi. Contohlah Dzun Nun alias Nabi Yunus. Beliau sempat juga menjadi korban lockdown-nya Allah Swt.
Baginda Yunus saat karantina di dalam perut ikan paus dipenuhi banyak pertanyaan tentang dirinya, tentang tugas kenabiannya, tentang umatnya yang mbalelo, tentang nasibnya berada di perut paus.
Beliau memanfaatkan waktunya untuk muhasabah dan tafakkur. Tidak lantas main TikTok, mengumpulkan stock Meme, atau bikin story WhatsApp sedang rapat Zoom bersama teman-temannya di darat. Tidak. Beliau terus meningkatkan kewaspadaannya sampai tingkatan di mana Allah sebagai the one and only kawan ngobrolnya.
Yunus bertapa dan mencari-cari jalan keluar di pikirannya. Tetapi semakin dicari semakin tidak ketemu. Semakin ingin keluar semakin buntu jalan. Memang wajar sebagai nabi yang kabur dari tugasnya pantas masuk ke dalam goa perut ikan paus, tapi beliau tidak memaklumi itu. Beliau menghitung kesalahan-kesalahan hidupnya sebagai manusia, sebagai nabi, sebagai makhluk yang diutus Allah. Sehingga tiba-tiba cahaya merekah di lubuk kesadarannya. Allah menjadi satu-satunya pihak yang hadir di hadapannya. Sehingga mulutnya tanpa sengaja keluar pernyataan: “Laa Ilaaha Illa Anta subhanaka Inni kuntu min adh-dhalimin.” Pernyataan yang mengandung dua unsur pengakuan. Pertama pengakuan bahwa satu-satunya sesembahan, Tuhan, Ilah, hanyalah Allah. Dan kedua, pengakuan bersalah atas kelalaiannya.
Syahdan, dari kewaspadaan atas limbo dan ketenangan Nabi Yunus saat stay at whale’s stomach, dapat kita simpulkan: yang terpenting akhirnya bukanlah apakah online atau offline. Tapi apakah di dalam offline atau pun online itu dapat kita temukan porsi yang pas untuk tidak masuk ke dalam Limbo. Apakah dengan offline atau pun online ini kita dapat memahami bahwa kita hamparan kerikil di alam semesta sehingga amat tidak layak dan tidak patut kita sombong berjalan membusungkan dada di bumi. Sebab baik-buruk online sepenuhnya tergantung kepada sistem pengelolaan tangan manusia. Bisakah kita meletakkan online dan offline tepat pada posisinya masing-masing? Atau… Limbo.
Tinggalkan Balasan