free page hit counter

Memahami Genealogi Perang

Genealogi Perang

Memahami Genealogi Perang

Sebenarnya apa itu genealogi perang? Apabila kita melihat kembali pada zaman Yunani kuno dan Romawi mereka sudah cukup akrab dengan keadaan perang dan sebagainya. Sebab melalui cara itulah mereka bisa melindungi dan memperluas area kekuasaan dari masing-masing kerajaannya.

Seperti misalnya kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius yang juga merupakan salah satu pemikir stoik setidaknya pernah terlibat dalam berbagai kondisi peperangan terutama ketika dirinya sedang berkuasa pada masa itu. Walaupun Marcus Aurelius sendiri tetap berupaya untuk mengikuti ajaran stoik supaya kehidupannya dapat berjalan lebih baik.

Dengan kata lain melalui bukti ini maka sebenarnya pemikiran stoik tidak dapat dipisahkan dari kondisi kekacauan perang yang memang besar kemungkinan menjadi latar belakang ketika pemikiran tersebut muncul.

Meskipun Marcus Aurelius mungkin banyak meneladani tokoh filsuf seperti Diogenes ataupun Socrates yang memiliki cara hidup sederhana tanpa kekuasaan sepertinya, namun dirinya tentu tidak bisa begitu saja dapat menghindari tanggung jawabnya sebagai penguasa untuk melakukan invasi ataupun perang demi melindungi wilayahnya ketika itu.

BACA JUGA: Cara Berdamai dengan Penolakan

Genealogi Perang Sebagai Sebuah Kegilaan

Genealogi Perang
Photo via: Pixabay

Berbeda halnya dengan Seneca atau Epictetus yang secara eksplisit menyatakan pandangannya mengenai perang bahwa tindakan tersebut banyak menggambarkan soal kegilaan dan bahkan akar dari kedustaan dalam pengabaian.

Begitu pula dengan tindakan untuk merenggut nyawa orang lain yang banyak terjadi di sebagian besar negara sudah tentu memiliki konsekuensi untuk mendapatkan hukuman setimpal karena dianggap berbahaya bagi masyarakat dan tindakannya tersebut sudah pasti salah.

Beberapa pelaku pembunuhan bahkan bisa dijatuhi hukuman mati atau hanya sekedar menjalani masa tahanannya. Dari berbagai konsekuensi hukum tersebut maka sudah jelas bahwa ini merupakan suatu kesepakatan sosial bahwa tindakan membunuh itu dilarang dan dianggap buruk.

Lalu mengapa konsensus tersebut muncul di masyarakat? Jawabannya pasti karena kita memaknai suatu kehidupan sebagai sesuatu yang berharga dan tidak dapat tergantikan. Akan tetapi mengapa pada situasi perang misalnya segala kejahatan tersebut justru dianggap lumrah dan segala konsensus tersebut diabaikan begitu saja? kira-kira hal inilah yang coba dikritik secara keras oleh Seneca.

“Kita sudah gila, tidak hanya secara individu, tetapi secara nasional. Kalau kita mengencam segala tindakan pembantaian atau pembunuhan, lalu mengapa perang dan kejahatan yang banyak digembar-gemborkan dengan membantai seluruh orang masih saja tetap berlangsung? Bukankah itu tanda bahwa sudah tidak ada lagi batasan untuk keserakahan dan kekejaman kita? Hanya karena keinginan dan ambisi segelintir orang yang berkuasa masyarakat diharuskan untuk melanggar konsensus mengenai tindakan kriminalitas yang sudah seharusnya dilarang.” (Seneca dalam Moral Letters to Lucilius).

Dalam karya lainnya yang berjudul “Physical Science”, Seneca dengan sangat cermat menjelaskan bahwa perilaku sekelompok orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melintasi samudera dengan banyaknya konsekuensi buruk yang bisa terjadi di depannya hanya untuk mencari peluang menciptakan perang demi memperluas wilayah kekuasaannya adalah suatu kegilaan.

Bahkan celakanya kebanyakan wilayah perang tersebutlah yang menerima kerugian terbesar mulai dari kerusakan bangunan hingga korban jiwa yang sebenarnya tidak bersalah. Padahal  sebenarnya justru mereka yang berperang itu tidak mengetahui betul siapa yang sedang mereka serang ketika itu.

Menang jelas berbeda kondisi perang di masa itu dengan keadaan di masa modern seperti saat ini karena manusia lebih mudah untuk menuju ke medan pertempuran dengan berbagai teknologi persenjataan yang lebih canggih, akan tetapi pertanyaannya mengapa kita masih berpikir untuk melakukan perang terhadap saudara kita sendiri?

Bahkan sekarang bukan tidak mungkin hanya dengan menekan sebuah tombol maka sebenarnya kehidupan di muka bumi bisa seketika punah. Lalu sebenarnya mengapa manusia melakukan itu? Bukankah itu suatu kegilaan?

BACA JUGA: Seksinya Angkringan Jogja

Genealogi Perang Berasal dari Ambisi dan Egoisme Manusia Semata

Genealogi Perang
Photo via: Pixabay

Epictetus pernah memiliki jawaban yang cukup menarik mengenai berbagai pertanyaan tersebut. Setidaknya kisah dua bersaudara yaitu Eteocles dan Polynices adalah cara terbaik untuk menjelaskan maksudnya. Kedua saudara ini sebenarnya sudah hidup bersama sejak kecil dan bahkan menjalani susah, senang, secara bersama-sama, namun pada akhirnya justru mereka berakhir secara tragis dengan membunuh satu sama lain.

Perselisihan tersebut lagi-lagi dimulai ketika keduanya memiliki suatu ambisi yang sama yaitu untuk menguasai tahta dari kerajaan Thebes. Demi ambisi tersebut mereka rela untuk berkelahi seperti layaknya dua ekor anjing yang sedang memperebutkan makanannya.

Dengan kata lain ketika suatu ambisi dapat menghilangkan nilai kekerabatan terhadap saudaranya sendiri, maka sudah pasti justru kehadiran orang lain sudah dianggap sebagai suatu ancaman yang nyata baginya.

Lalu apakah cukup pantas apabila kita mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan kita hanya untuk suatu ambisi yang sebenarnya tidak berada di dalam jangkauan kita?

BACA JUGA: Al Qur’an dan Hadits Tentang Muamalah

Epictetus
Photo via: Britannica

“Sebenarnya itu bukanlah prinsip sifat manusia yang membuat mereka saling menggigit, dan saling mencaci, dan bahkan ketika perbuatan seorang penjahat yang mencelakai orang lain juga tidak dapat sama sekali dibenarkan karena motivasinya hanya berasal dari hasrat pribadinya sendiri, dan sudah pasti sesungguhnya mereka hanya sedang mencoba menguasai sesuatu yang sebetulnya jauh berada di luar kendalinya.” (Epictetus dalam Discourses).

Padahal segala ambisi yang ingin dicapai itu berada di luar jangkauan kita maka sudah semestinya hal tersebut tidak menjadi prioritas kita. Akan lebih baik apabila kita lebih fokus untuk memperbaiki berbagai hal yang sudah jelas ada dalam kendali kita seperti yang disarankan oleh Epictetus yaitu karakter kesetiaan mulai dari sikap rendah hati, sabar, pantang menyerah, solidaritas, dan menjaga hubungan baik antar sesama.

Share this post

Comments (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *