Sudah Semestinya Tidak Ada Guru Honorer di Dunia
Dua minggu lalu, saya sempat berbincang dengan teman sebaya terkait kecilnya bayaran guru honorer di daerah kami. Ia mencoba melakukan kalkusi yang berkesimpulan bahwa apa yang guru dapat dari sekolah tidak pernah cukup. Saya kemudian berujar dengan tegas bahwa wajar jika kemudian banyak guru beralih profesi.
Ketika membaca berita pemecatan ratusan guru honorer, di satu sisi saya merasa sangat bersyukur. Di saat yang sama saya jengkel dengan tindakan semacam ini. Saya bersyukur musabab pemberhentian tersebut membebaskan mereka dari pekerjaan yang tidak layak. Juga jengkel lantaran hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya sensitifitas terhadap kerentanan guru.
Bagi guru yang mempunyai banyak pilihan untuk bekerja di banyak sektor, pemberhentian barangkali tidak sedemikian mengerikan. Tapi coba bayangkan guru yang hanya bertumpu pada pendapatan dari honor yang tidak seberapa itu? Sudah tidak seberapa, diberhentikan pula!
Argumen utama Budi Awaludin (Plt. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta) menarik untuk dibedah. Ia katakan bahwa mekanisme pengangkatan guru honorer ini tidak melalui seleksi yang jelas. Selain itu, mereka juga dibayar dengan bantual operasional sekolah (BOS). Dengan kata lain, ia mengharapkan seleksi ketat pada pengangkatan guru honorer.
Tidak Tahu Kondisi di Lapangan
Tanpa ragu saya bisa katakan bahwa yang terhormat Pak Budi tidak tahu kondisi di lapangan. Ada banyak sekolah yang kekurangan tenaga pengajar. Mestinya, keberadaan guru honorer yang bayarannya tidak seberapa itu perlu ia syukuri. Bukan malah menyapu rata lantaran dianggap tidak melalui proses seleksi yang proper.
Ia barangkali tidak pernah melihat di banyak sekolah seorang guru bisa mengajar di seorang guru bisa mengajar di dua sampai tiga kelas di waktu yang sama. Ini adalah pemandangan yang biasa di daerah-daerah terpencil. Kalau di Jakarta? Saya kira tidak bakal jauh beda. Artinya, kebutuhan tenaga pengajar yang meniscayakan pengangkatan guru honorer.
Oleh sebab itu, pengangkatan guru honorer ini bukan berangkat dari ruang kosong. Ia tidak hanya kebutuhan yang tidak beralasan, melainkan kebutuhan mendesak. Barangkali hal ini pula yang harus Pak Budi pikirkan—demikian juga pemerintahan Indonesia secara luas—bagaimana menjamin ketersediaan dan kehidupan yang layak untuk para tenaga didik.
Hapus Guru Honorer
Di kepala saya tidak ada konsep guru honorer, adanya guru yang mendapat bayaran rendah dan tak seberapa. Sepertinya bukan rahasia lagi kalau bayaran yang guru honorer terima memang tidak seberapa. Buat makan sebulan saja tidak cukup, apalagi untuk di kota-kota yang besar.
Karenanya, pemerintah mestinya mempunyai solusi terbaik untuk persoalan ini. Kalau boleh usul hapus saja guru honorer, setarakan saja semua guru. Tentu tidak banyak yang menerima usul saya ini. Tidak apa-apa, jika begitu para pengambil kebijakan bisa mempetimbangkan jalan keluar yang terbaik. Bisa kan? Masa iya saya terus.
Tinggalkan Balasan