free page hit counter

Catatan Identitas Menjadi Seorang Tionghoa Berdarah Jawa

Catatan Identitas Menjadi Seorang Tionghoa Berdarah Jawa

Tionghoa Berdarah Jawa

Ibuku berasal dari keluarga Tionghoa yang tinggal di pusat kota Yogyakarta, dimana sebagian Tionghoa lainnya tinggal di situ. Sedangkan ayahku berasal dari keluarga jawa yang menganut agama katolik cukup kuat. Menjadi seorang Tionghoa namun berdarah Jawa cukup membingungkan, seringkali masyarakat mengkotak-kotakan segala sesuatunya. Saat bersama teman-teman Tionghoa mereka menganggapku terlalu Jawa, sedangkan saat bersama teman-teman Jawa mereka menganggapku terlalu Tionghoa.

“Cino kok ireng, Jowo kok kuning, Cino kok alus, Jowo kok nyablak”

Berbagai pertanyaan tersebut membuat saya sering kali bingung memposisikan diri dalam masyarakat. Tak jarang saya melakukan hal-hal agar orang lain mau menerima saya sesuai dengan keinginan mereka. Puncak krisis identitas yang saya alami adalah saat harus memilih agama yang saya anut sebagai bentuk identitas yang saya pilih.

Mengapa saya harus memilih ingin menjadi Tionghoa atau Jawa?

Meskipun saya lebih banyak dibesarkan dalam keluarga besar ibu yang Tionghoa, ada sisi Jawa yang sering kali saya ingin banggakan. Saya begitu mengagumi budaya jawa yang selalu memaknai berbagai hal secara mendalam. Baru-baru ini saya membaca tentang filosofi angka Jawa; Siji atau setunggal dalam bahasa krama inggil ternyata memiliki makna akan keesaan Tuhan, dimana kata tersebut berasal dari Esa + Eka + Ika + Tunggal. Sehingga didapat kata baru yang disebut setunggal. Limo atau gangsal yang berarti panca indera dalam tubuh manusia berjumlah lima yaitu mata, telinga, hidung, kulit dan lidah atau disebut kekuatan diri.

Saya memahami budaya Jawa sangat mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana keselarasan dalam guyub keluarga, keseimbangan dalam pola pikir, dan sebagainya. Sama halnya saya begitu terinspirasi dengan budaya cina. Saya mengalami betul kedua budaya tersebut tidak ada yang merugikan satu sama lainnya. Lalu, mengapa saya harus memilih salah satu sisi kalau keduanya sebetulnya sangat selaras? Saya bukan lagi setengah Tionghoa atau setengah Jawa, identitas campuran itulah identitasku yang sepenuhnya.

Apabila kita melihat catatan sejarah, pertumpahan darah terbesar bisa disebabkan karena masalah identitas. Identitas sangat jelas dapat menumbuhkan kebencian. Entah disadari atau tidak kebencian ini tak datang secara tiba-tiba dalam realitas masyarakat. Kebencian itu diajarkan dan ditularkan lewat kotak-kotak yang masyarakat bangun. Walaupun saya yakin awal kebencian disebabkan oleh pengaruhi konflik kepentingan.

Pengalaman saya mengenali identitas diri semakin meyakinkan bahwa jangan sampai kebencian menghilangkan fitrah kita sebagai manusia. 

Xin nian kuai le, Mugi tansah binerkahan Gusti.

Share this post

Comments (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *