free page hit counter

Film Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela

Totto-Chan

Film Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela

Contents

Bertahun-tahun kita berdampingan dengan buku Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Tapi meski begitu familiar dengan buku ini, nyatanya saya belum juga khatam. Ada saja alasan untuk belum membacanya. Padahal dari review yang ada, buku ini isinya daging semua. Okelah nanti akan saya luangkan waktu untuk menamatkan semuanya.

Meski belum mencicipi bukunya, tapi sudah kesampaian nonton filmnya beberapa waktu lalu. Iya sejak ada kabar kalau Totto-Chan akan tayang di bioskop, saya punya ekspektasi besar. Banyak movie saya lewatkan, tapi untuk film ini pokoknya harus nonton.

Totto-Chan: The Little Girl at the Window Sebuah Autobiografi

Film Totto-Chan: The Little Girl at the Window ini adaptasi dari buku dengan judul sama karya Tetsuko Kuroyanagi. Lebih tepatnya ini merupakan autobiografi yang menceritakan kisah nyata penulisnya semasa kecil. Sejak awal sampai ending, film ini menyajikan animasi yang menakjubkan. Juga kisah yang mengharukan. Setting ceritanya saat masa perang dunia. Yang mana masa itu di Indonesia juga sedang sangat kacau balau menghadapi penjajah.

Cerita ini bermula dari bocah cilik yang punya ketertarikan lebih dengan kereta api dan hal-hal lain yang ada di sekitarnya. Saking aktifnya, guru melabeli Totto-Chan dengan sebutan anak badung. Guru ini tidak sanggup kalau setiap hari harus berhubungan dengan murid yang dianggapnya nakal tersebut. Puncak kemarahan guru di sekolah itu tatkala Totto-Chan membuat heboh kelasnya dengan duduk di Jendela dan memanggil seniman jalanan untuk tampil di sekolahnya. Hal ini membuat gempar. Karena itulah pihak sekolah memanggil orangtua Totto-Chan dan meminta untuk memindahkannya ke sekolah lain.

Saya terharu sebab dalam situasi ini orangtua Totto-Chan tidak sakit hati dan tidak juga memarahi anaknya. Sebaliknya, sosok ibu jadi orang yang selalu mendukung anak-anaknya. Sungguh bijak sekali ibu Totto-Chan.

Fungsi Dari Keluarga, Saling Mendukung Dalam Kebaikan

Maka setelah itu Ibu Totto-Chan mengajak anaknya untuk mencari sekolah baru. Hingga mereka sampai di sekolah Tomoe. Sekolah yang kelak saya yakin akan selalu diimpikan oleh banyak orang. Di sekolah baru ini kepala sekolahnya luar biasa sabar dan mau mengenal muridnya satu persatu. Pas kepala sekolah tahu kalau Totto-Chan ini tidak bisa diam dan cenderung suka polah, beliau meminta Totto-Chan untuk cerita banyak hal sampai si bocah kehabisan bahan cerita.

Totto-Chan langsung bahagia dengan sekolah barunya. Ia sangat ingin menghabiskan hari-harinya di sekolah itu. Tentu saja pertama yang membuatnya jatuh cinta adalah kelasnya yang terbuat dari gerbong kereta. Sungguh estetik sekali. Belum lagi lingkungan sekolah yang asri dan orang-orang yang unik menjadikan Totto-Chan semakin berani unjuk kebolehan.

Ada satu kawan Totto-Chan di sekolah Tomoe yang menderita polio bernama Yasuaki. Pertemanan keduanya membuat Yasuaki jadi semangat dan percaya diri. Bocah polio ini tadinya hanya menghabiskan waktu untuk membaca buku dan bajunya tidak pernah kotor. Tapi begitu kenal Totto-Chan, bocah ini diajak berenang. Di sekolah itu memang sering ada acara renang bersama. Semua anak melepas pakaiannya dan bersenang-senang dalam air. Kali pertama Yasuaki berenang bersama adalah di situ.

Lain hari Totto-Chan mengajak kanannya itu naik pohon. Padahal Yasuaki yang terkena polio itu kesusahan menggerakkan sebagian anggota badannya karena lumpuh. Tapi bukan Totto-Chan namanya kalau tidak bisa mengajak bocah polio naik ke pohon. Sungguh gambaran yang menyentuh sekali. Sebagai orang dewasa saya terharu melihat adegan ini. Bahkan akhirnya mereka bisa ikut lomba lari bareng. Hingga pada suatu masa saat dunia tidak sedang baik-baik saja dan ketika mereka sedang menikmati pertambahan usia dewasa, justru Yasuaki tutup usia. Sumpah nyesek parah bagian ini.

Terima Kasih Tomoe School

Asli ini film sebenarnya full air mata sih. Setidaknya buat saya begitu. Belum lagi perang dunia yang benar-benar menghabiskan tatanan kehidupan. Bahkan Jepang yang saat itu tampak begitu glamour dan hidup Jaya dalam sekejap berubah jadi yang miskin dan tersakiti. Banyak aturan baru yang kadang tampak tidak masuk akal. Orang sipil dilarang memakai baju sembarangan harus baju yang ditentukan. Pula rakyat tidak boleh stok makanan. Makanan berkualitas haruslah untuk prajurit perang. Nangis woe penderitaan itu sungguh luar biasa.

Yang semakin membuat nyesek adalah saat rumah masa kecil Totto-Chan yang dekat stasiun harus dihancurkan karena takut saat perang menimbulkan kebakaran. Lalu adegan saat sekolah Tomoe yang bernasib sama, hancur lebur membuat semua yang tumbuh di sana merasakan patah hati. Penonton aja gak rela apalagi anak-anak yang sekolah di sana.

Pada akhirnya saya ingin bilang bahwa apapun motifnya, peperangan sungguhlah menyakitkan. Totto-Chan adalah sebuah kenyataan yang tidak seharusnya terabaikan. Film ini memang tampilannya terlihat manis. Animasi yang tampak menggemaskan. Siapa sangka jika ternyata ini adalah film yang hampir dua jam menguras emosi dan air mata.

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *