Memaknai Kembali Arti Kasih Sayang di Bulan Ramadan
Contents
Ramadan Kasih Sayang
Ramadan hampir berakhir, sementara kita masih bergegas mengumpulkan pundi-pundi amal sebagai bekal di akhirat. Kita mulai memperbanyak membaca al-Qur’an, sholat wajib dan sunnah dengan khusyuk, menyisihkan uang untuk bersedekah, mendengar ceramah ustad-ustad di masjid, dan lain sebagainya. Ibadah yang kita lakukan di mata agama sepertinya memang sudah sangat baik. Namun sudahkah kita membagikan kasih sayang kita kepada sesama manusia, bukan hanya sesama kaum Muslim semata?
Kasih sayang sebenarnya bersifat plural. Seharusnya pula tidak memandang suku, agama, atau latar belakang sosial. Akan tetapi banyak orang yang merasa sudah cukup ketika membagikan kasih sayangnya hanya kepada orang yang memiliki kepercayaan sama dengannya. Apalagi mengingat situasi Indonesia yang semakin hari masyarakatnya menjadi semakin mengotak-ngotakkan diri berdasarkan agama yang mereka anut. Tetapi, apakah Allah memang menyuruh kita untuk seperti itu?
Media Sosial
Media sosial adalah tempat orang-orang menuliskan keluh kesahnya. Setiap orang bebas berpendapat di akun pribadi mereka masing-masing. Ada yang pernah berpendapat entah dari al-Qur’an atau dari hadis, bahwa barang siapa yang mengikuti suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut. Pendapat seperti inilah yang banyak diikuti oleh orang-orang, hingga mereka akhirnya lupa bahwa di atas semua perbedaan, mereka semua adalah manusia yang setara dan memiliki kesempatan yang sama.
Umat Islam meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu apakah pengasih dan penyayangnya Allah lantas hanya untuk sekelompok manusia yang meyakiniNya? Saya pribadi agak sangsi dengan pernyataan ini. Meski di bangku sekolah dulu, guru agama saya sering berkata bahwa Allah mengasihi semua manusia, namun hanya menyayangi umat manusia yang meyakininya.
Hingga detik ini, saya masih percaya bahwa Allah sebenarnya menyuruh kita menyayangi semua manusia tanpa pandang perbedaan, apalagi dari agama. Karena selain kita adalah manusia yang memiliki kepercayaan, kita juga makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan manusia lain untuk bisa bertahan hidup.
Makhluk Sosial
Senang sekali rasanya ketika melihat gereja memasang spanduk ‘Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, Selamat Memasuki Bulan Ramadan’ sebagai bentuk toleransi mereka kepada kita yang tidak seagama dengan mereka. Namun sudahkah kita melihat masjid yang memasang tulisan ‘Selamat Merayakan Natal atau Selamat Paskah’ dan sebagainya?
Mungkin ada, tapi jarang. Mengapa ini terjadi? Karena ya mungkin saja kita sebagai umat Islam masih menganut kepercayaan “kita adalah bagian dari kaum mereka ketika mengucapkan itu”. Kepercayaan seperti itu sebenarnya tidak salah, toh salah dan benar adalah relatif.
Yang mau saya tekankan di sini adalah hakikat kita sebagai manusia sosial menjadi semakin abu-abu dengan berbagai prasangka dan penerjemahan dangkal akan suatu ayat dalam kitab suci. Perlunya penggalian makna yang dalam tentu akan sangat diperlukan.
Kasih sayang bisa ditebarkan di mana saja, kapan saja—tidak harus menunggu bulan Ramadan tiba, dan untuk siapa saja. Karena sejatinya Allah menginginkan kita untuk hidup rukun untuk tetap menjaga perdamaian. Membela Allah tidak sedangkal kita berteriak kafir kepada orang yang tidak beragama Islam, tidak sedangkal kita berteriak jihad kepada mereka yang mau membangun rumah ibadah selain masjid, tidak sedangkal kita teriak Allahu Akbar dalam demo yang berbau politik. Allah akan selalu ada di hati orang-orang yang meyakininya.
Nurul Fadhillah S.
Duta Damai BNPT.
Comments (4)
[…] yang harus kita lakukan ialah bagaimana sebisa mungkin meresapi proses Ramadhan yang telah dilalui. Menghadirkan kedamaian dan menghilangkan kebencian di dalam dada. Sebagaimana Nabi dan Para Sahabat yang dahulu melakukan […]
[…] yang harus kita lakukan ialah bagaimana sebisa mungkin meresapi proses Ramadhan yang telah dilalui. Menghadirkan kedamaian dan menghilangkan kebencian di dalam dada. Sebagaimana Nabi dan Para Sahabat yang dahulu melakukan […]
[…] Ramadan selalu diidentikan dengan yang manis. Sering kali, masyarakat dibodohi dengan perkataan tentang “Berbukalah dengan yang manis,” padahal sebenarnya tidak ada hadist yang membahas tentang hal tersebut. Meskipun begitu, memang pada zaman Rasulullah, beliau selalu berbuka dengan kurma muda (ruthab) jika tidak ada maka akan diganti dengan kurma matang (tamr) sehingga, hal ini membuat masyarakat berkesimpulan bahwa, berbuka memang dengan menikmati yang manis-manis. Jika di Timur Tengah berbuka identik dengan kurma, maka di Indonesia memiliki tradisi berbeda, yaitu berbuka dengan semangkok kolak. […]
[…] Ramadan selalu diidentikan dengan yang manis. Sering kali, masyarakat dibodohi dengan perkataan tentang “Berbukalah dengan yang manis,” padahal sebenarnya tidak ada hadist yang membahas tentang hal tersebut. Meskipun begitu, memang pada zaman Rasulullah, beliau selalu berbuka dengan kurma muda (ruthab) jika tidak ada maka akan diganti dengan kurma matang (tamr) sehingga, hal ini membuat masyarakat berkesimpulan bahwa, berbuka memang dengan menikmati yang manis-manis. Jika di Timur Tengah berbuka identik dengan kurma, maka di Indonesia memiliki tradisi berbeda, yaitu berbuka dengan semangkok kolak. […]