free page hit counter

Mengenal Beksan Lawung Ageng: Tari Klasik Kraton Yogyakarta

Mengenal Beksan Lawung Ageng: Tari Klasik Kraton Yogyakarta

Contents

Beksan Lawung Ageng menjadi salah satu tari Klasik dari Kraton Yogyakarta yang memiliki nilai-nilai luhur yang harus dijaga oleh dari berbagai elemen masyarakat di Yogyakarta. Tari ini memiliki gerakan yang heroik dan patriotik dari segi koreografinya yang menyiratkan perjalanan hidup manusia dengan berbagai pergolakan yang terjadi pada masa awal Sultan Hamengku Buwono I bertahkta. Pada masa kekuasaannya, Beksan Lawung Ageng memiliki pemaknaan dalam watak ksatria lewat empat prinsip sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh arti singkatnya tetap fokus, pantang menyerah, selalu percaya diri dan bertanggung jawab. Makna filosofis dari tersebut menggambarkan bahwa setiap penari harus memiliki rasa kedisiplinan yang tinggi, berolah fisik yang kuat dan memiliki ilmu kebatinan yang kuat.

beksan lawung ageng
Gambar dari https://blog.ullensentalu.com/jiwa-satria-dalam-beksan-lawung-ageng/

Sejarah Awal Mula Tarian

Beksan Lawung Ageng Yogyakarta merupakan salah satu tarian yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I dan sebagai pusaka Kraton Yogyakarta. Tarian disajikan dalam bentuk-bentuk ritual kenegaraan, hanya diperbolehkan untuk diselenggarakan pada tempat dan waktu tertentu seperti hari ulang tahun raja, ulang tahun penobatan, pernikahan putra-putri sultan, atau saat-saat yang dianggap istimewa.[1] Selain itu, tarian ini diciptakan dengan tujuan untuk melatih ketangkasan dan ketangguhan para prajurit sehingga dapat menyulut semangat patriotisme. Beksan Lawung Ageng dapat dikatakan sebagai bentuk simbolisasi berlatih perang, yang dimainkan oleh 16 orang penari pria dibagi dalam lima kelompok yaitu dua orang botoh, empat orang lurah, empat orang jajar, empat orang plincon dan dua orang pelawak.[2] Masing-masing ditempatkan dengan formasi dua penari botoh, dua penari salaotho, empat penari jajar, empat penari lurah, dan empat penari ploncon.

Beksan Lawung Ageng diciptakan untuk membentuk jiwa patriotisme, kesetiaan, kejujuran, dan bela negara para prajurit. Sebutan lain dari tari ini yakni Beksan Trunajaya karena mayortias penarinya banyak dari prajurit kesatuan Nyutra dari korps Trunajaya. Pembawaan tari ini memiliki karakter tegas dan disiplin seorang prajurit yang tercermin dari sosok Sultan Hamengku Buwana I. Selain itu, tarian ini diciptakan sebagai wadah latihan militer secara terselubung terlihat dari penggunaan senjata lawung sebagai lambang keberanian dan kepahlawanan.[3]

Bentuk Penyajian Tari Beksan Lawung Ageng

Beksan Lawung Ageng menjadi salah satu tarian kelompok dengan penari berjumlah 16 penari pria yang terdiri dari dua penari botoh (orang yang memberi aba-aba ketika pementasan tari), dua penari salaotho (berperan sebagai pelayan//pembantu). Empat penari jajar (berperan sebagai penari dengan pangkat rendah), empat penari lurah (berperan sebagai penari yang memiliki pangkat lebih tinggi dari jajar), dan empat penari ploncon (bertugas menyiapkan dan membawa lawung yang akan mereka pakai menari maupun bertanding oleh para penari jajar).

Tarian ini untuk menunjukkan adu ketangkasan prajurit dalam memainkan tombak menggambarkan suasana berlatih perang. Karakter tari yang ditunjukkan dari Beksan Lawung Ageng memiliki sifat yang ekpresif, dinamis, tenang berwibawa dan penuh semangat.[4] Pementasan tari ini biasanya dipentaskan di sebuah pendapa Kepatihan Kraton Yogyakarta.

Penggunaan dialog menggunakan bahasa campuran di antaranya Bahasa Jawa, Madura dan Bugis. Adanya berbagai dialog penggunaan selain bahasa Jawa dikarenakan para penarinya tidak hanya berasal dari Yogyakarta, namun dari berbagai daerah di luar Yogyakarta. Biasanya, dialog tersebut berisi perintah-perintah dalam kesatuan keprajuritan. Munculnya keberagaman asal prajurit Kraton Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwono I seringnya menghasilkan akulturasi bahasa yang kemudian dijadikan sebagai pocapan (dialog) dalam pementasan tari tersebut.

[5] Dialog antar penari terjadi secara bergantian dan selalui mulai dari posisi sebelah kiri. Pola urutan penampil tari biasanya mulai dengan penari salaotho berjalan kaki di pentas. Selanjutnya, abdi dalem masuk dengan membawa peralatan/tombak para penari yang diikuti oleh botoh yang naik kuda dengan diberi payung songsong (sebuah payung penanda kebesaran seseorang). Di sisi lain, penari yang berperan sebagai lurah, ploncon dan jajar menaiki kuda juga tetapi tidak diberi payung seperti penari botoh.[6]

beksan lawung ageng
Gambar dari https://www.kompas.com/skola/read/2021/03/16/100000469/beksan-lawung-ageng-tarian-pusaka-keraton-yogyakarta

Pementasan Beksan Lawung Ageng Masa Kini

Saat ini, pementasan tari Beksan Lawung Ageng ketika acara Tingalan Jumenengan Dalem dalam rangka hari peringantan penobatan Sultan Hamengku Buwono X di komplek Keraton Yogyakarta. Selain itu, ketika acara pernikahan putri-putri dari Sultan Hamengku Buwono X akan menampilkan tarian ini dengan begitu meriah dan megah serta banyak penonton.

Pada masa kini, terjadi perubahan makna ritual yang sebelumnya sakral menjadi hiburan semata. Selain itu, pagelaran Beksan Lawung Ageng bersifat interaktif dari dua arah dengan penonton sehingga mengurangi maka lahiriah dari tari tersebut.

Nilai-nilai luhur yang ada di Tarian ini mulai berkurang akibat dari perubahan zaman yang ada pada saat ini. Selain itu, nilai ritual yang ada pada diri tari ini sudah mulai menjadi bias/semu yakni peralihan fungsinya sebagai pertunjukan semata. Apa yang ditimbulkan dari kurangnya nilai ritual terjadi pergeseran fungsi dan nilai yang ada di Tarian ini.

Daftar Pustaka :

R.M. Kusmahardika Tinarsidharta. Beksan Lawung Ageng Pada Upacara Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta. Jurnal Seni Budaya Gelar Vol. 14 No. 2. Desember 2016, 191-200

____________________________. Perubahan Bentuk Dan Fungsi Beksan Lawung Ageng Dalam Upacara Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta. Tesis, Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Surakarta. Surakarta. 2015

https://swagayugama.ukm.ugm.ac.id/2020/12/24/perkembangan-beksan-lawung-ageng/  diakses pada 4 Agustus 2024 pada pukul 18:25.

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=88#:~:text=Beksan%20(Tari)%20Lawung%20merupakan%20seni,plincon%20dan%20dua%20orang%20pelawak diakses pada 4 Agustus 2024 pukul 18:16


[1] R.M Kusmahardika Tinarsidharta, Perubahan Bentuk Dan Fungsi Beksan Lawung Ageng Dalam Upacara Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Surakarta, Surakarta, 2015, hal. 14

[2] https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=88#:~:text=Beksan%20(Tari)%20Lawung%20merupakan%20seni,plincon%20dan%20dua%20orang%20pelawak diakses pada 4 Agustus 2024 pukul 18:16

[3] https://swagayugama.ukm.ugm.ac.id/2020/12/24/perkembangan-beksan-lawung-ageng/ diakses pada 4 Agustus 2024 pada pukul 18:25.

[4] R.M. Kusmahardika Tinarsidharta, Beksan Lawung Ageng Pada Upacara Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta, Jurnal Seni Budaya Gelar Vol. 14 No. 2, Desember 2016, 191-200, hal. 194.

[5] loc.cit.

[6] Ibid hal. 196

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *