Pancasila Sila Pertama: Antara Ketuhanan & Persatuan
Setiap peringatan lahirnya Pancasila, tidak sedikit masyarakat yang membicarakan hubungan yang terjalin antara Pancasila dan agama. Survey Setara Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) tahun 2023 menyebutkan bahwa 83,3% siswa SMA di 5 kota mendukung persepsi Pancasila bukan ideologi yang permanen serta ada kemungkinan menggantinya. Selain itu, 56,3% pelajar terbuka tentang syariat Islam sebagai landasan negara.
Dua lembaga tersebut juga mendapatkan data bahwa angka intoleran dan ekstrimisme serta kekerasan di kalangan remaja juga meningkat. Survei mencatat angka intoleran meningkat sekitar dua kali lipat sejak tahun 2016 (2,4%) hingga 2023 (5,0%). Begitu juga dengan remaja yang terpapar virus ekstrimisme kekerasan yang awalnya 0,3% menjadi 0,6%. Fakta ini memperlihatkan bahwa masih sangat perlu untuk memberikan edukasi tentang hubungan Pancasila dan agama, terutama pada generasi muda.
Dalam ilmu pengetahuan alam, ada ilmu yang membahas tentang hubungan timbal balik antar dua makhluk hidup. Ilmu tersebut menyebutkan ada bentuk hubungan, yaitu simbiosis mutualisme, komensalisme dan parasitisme. Hubungan yang terjalin antara Pancasila dan agama merupakan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dan membutuhkan.
Agama memberikan kerohanian dalam berbangsa dan bernegara, sedangkan negara menjamin kehidupan keagaman warga negaranya. Makna ini terkandung dalam sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. UUD 1945 pasal 28 juga menyebutkan bahwa warga negara diberikan kebebasan dalam beragama dan itu termasuk HAM. Di sisi lain, negara juga menjamin kemerdekaan rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya (Pasal 29 ayat 2 UUD 1945).
Bung Hatta, K.H. Ahmad Shiddiq, dan Revisi Pancasila Sila Pertama
Bung Hatta memiliki nama asli Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta. Beliau lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 dan mengakhiri perjalanan hidupnya pada 14 Maret 1980. Wakil Presiden Indonesia pertama ini, selain dikenal sebagai “Bapak Koperasi” karena kemampuannya di bidang ekonomi, beliau juga merupakan sosok yang berpengaruh saat perumusan sila pertama Pancasila.
Ada sejarah panjang dalam proses pembuatan sila pertama Pancasila. Pada awalnya, tim perumus mengusulkan bunyi sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian berganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kesepakatan atas penetapan sila pertama melibatkan berbagai pihak tokoh agama dan negara. Karena redaksi pertama yang diusulkan dalam Piagam Jakarta menuai kontra dari sebagian pihak, Bung Hatta menginisiasi untuk berdiskusi dengan perwakilan umat Katolik dan Protestan. Ia memikirkan kemungkinan apa yang terjadi jika tetap menggunakan redaksi pertama tersebut.
Bung Hatta menjelaskan, jika Indonesia tidak dapat bersatu, maka Belanda akan menguasai kembali daerah-daerah tempat penduduk non muslim tinggal (luar Jawa dan Sumatera). Bung Hatta langsung memutuskan untuk membicarakan persoalan ini keesokan harinya pada sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Setelah itu, mereka memutuskan untuk mengganti sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Rupanya perjalanan sila pertama masih tetap berlanjut.
Sebagian elemen masyarakat ternyata belum sepakat sepenuhnya dengan ketetapan tersebut. Pada tahun 1956-1959 dalam Konstituante, Partai NU dengan partai Islam lainnya memperjuangkan kembali negara yang berasaskan Islam. Namun sekitar 25 tahun berikutnya (Muktamar NU ke-27 tahun 1984), berkat K.H. Achmad Siddiq yang mengkaji tentang hubungan Islam dan Pancasila, ia berhasil mengubah pola pikir mereka dan dapat mengakui Pancasila sebagai dasar negara.
BACA JUGA: Srawung Damai 2 ; Pelatihan Mobile Journalism dan Pemanfataan AI dalam Pembuatan Konten
Memetik Nilai dari Sejarah
Melihat perjalanan pergantian redaksi kalimat pada sila pertama, hal ini mengindikasikan bahwa sila ini bukan hanya membicarakan tentang Ketuhanan, namun juga mengandung makna betapa pentingnya persatuan di negara yang majemuk ini. Kita perlu mencatat dan merenungi setiap pertimbangan, pemikiran, serta statement Bung Hatta dan K.H. Achmad Siddiq untuk mempertahankan kesatuan negara Indonesia.
Dua tokoh besar tersebut melakukan berbagai upaya untuk mencari jalan tengah agar tidak terjadi perpecahan di Indonesia. Beliau berdua memberikan dedikasi dan membuktikan kecintaannya pada tanah air dengan caranya masing-masing.
Bung Hatta melakukan diplomasi di wilayah pemerintahan, sedangkan K.H. Achmad Siddiq menggiring jamaahnya untuk mengakui dasar negara Pancasila dengan pendekatan keilmuannya.Sebagai penerus perjuangannya dalam menjaga kedaulatan dan perdamaian bangsa ini, sudah semestinya generasi muda mengambil nilai moral yang terkandung di balik sejarah panjang pembentukan Pancasila, khususnya sila pertama. Sekarang bukan waktunya untuk memperdebatkan hubungan Pancasila dan agama. Sebaliknya, generasi muda dapat menjaga kesatuan NKRI dengan caranya masing-masing sesuai kapasitasnya. Contohnya, sebagai seorang pelajar, jika ada perbedaan pendapat di kelas, bisa bertukar pikiran dengan cara yang baik
Editor: Bennartho Denys
Tinggalkan Balasan