Pendidikan Kita yang Suram, Pendidikan Kita yang Malang
Saya tidak tahu bahwa 2 Mei merupakan Hari Pendidikan Nasional. Saya menyadarainya pascamelihat banyak kolega yang membuat story via WhatsApp. Sekarang percaya kalau story WA lebih update daripada media massa. Itu bukan pembahasan kali ini. Saya hanya akan mencoba untuk merefleksikan wajah pendidikan kita—kendati secara parsial.
Mula-mula, semua orang harus percaya bahwa pendidikan adalah fondasi dari sebuah peradaban. Tidak ada ceritanya perdaban-peradaban besar di dunia bermula dari rebahan. Itu berarti kalau ingin membangun sebuah peradaban yang luar biasa, harus selesai dulu dengan urusan pendidikannya. Tepat di titik inilah negara kita punya banyak masalah ihwal pendidikan.
Untuk mencari masalah di seputar pendidikan tidak sesusah mencari jarum dalam tumpukan jerami. Cukup datangi satu atau dua sekolah di pedalaman. Pada saat yang sama, kita akan berhadapan langsung dengan persoalan pendidikan yang sangat kompleks. Mulai dari sekolah yang biasa-biasa saja, siswa yang hanya masuk kelas agar orang tua tidak marah, hingga guru yang cuma memenuhi kewajiban mengajarnya.
Akses yang Tidak Merata
Apa yang saya maksud dengan ‘sekolah yang biasa-biasa saja’ adalah sebuah frasa untuk mendeskripsikan keadaan riil sekolah. Baik dari segi bangunan, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang dan lain-lain. Saya adalah saksi hidup di mana satu ruangan terbagi menjadi dua kelas musabab keterbatasan ruangan dan guru. Saya juga tahu betul jangankan buku-buku untuk perpustakaan, buku untuk bahan belajar saja masih jauh dari kata cukup.
Itu adalah kondisi faktual pendidikan kita di sekolah. Hal semacam itu dapat kita jumpai di banyak tempat di pelosok-pelosok desa. Jangan pernah mencari sekolah yang mempunyai keterbatasan di kota-kota besar, akan beda ceritanya. Saya tidak bilang bahwa sekolah di kota-kota besar bagus, hanya saja tidak sejelek di pelosok. Atas dasar ini saya yakin bahwa akses terhadap pendidikan yang berkualitas ini memang tidak merata. Itu juga bukan hanya isapan jempol belaka.
Sebatas Penggugur Kewajiban
Tidak sedikit siswa di sekolah-sekolah di pedesaan hanya masuk kelas sebab takut kena marah orang tua. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tidak berasal dari internal siswa itu sendiri. Melainkan bersumber dari kekuatan eksternal, seperti orang tua ataupun saudara. Ini masih mending ketimbang orang yang tidak memandang pendidikan sebagai sebuah entitas yang penting.
Tidak hanya siswa, demikian juga dengan guru di sekolah tersebut. Tak sedikit dari mereka yang mengajar hanya untuk memenuhi kewajiban. Saya bisa memahami itu sebab berkaitan dengan keadaan yang melingkupi si guru. Seperti, keterbatasan guru sehingga satu orang harus masuk di beberapa kelas pada waktu yang bersamaan. Apalagi kalau sudah memabahas gaji (honor?) yang jauh dari kata cukup.
Kendati demikian, apa yang saya sampaikan di atas hanya puncak gunung es. Apa yang tak nampak dari persoalan pendidikan kita lebih banyak. Sehingga, saya lebih pesimis melihat masa depan pendidikan Indonesia. Akhirulkalam, saya sampai pada taraf pasrah dan mengakui bahwa negara ini memang ditakdirkan—didesain barangkali lebih pas—untuk tetap berkembang.
Tinggalkan Balasan