Lebaran Dan Anomali Pakaian Baru
Lebaran adalah momen istimewa. Karenanya, sanak saudara kembali berkumpul. Momen yang menghadirkan ruang bertemu kepada siapa saja yang ditelan rindu. Sejauh apapun jarak yang ditempuh dan sepadat apapun kesibukan yang melanda, lebaran akan selalu menarik diri untuk berjumpa dengannya. Sebab di sana, ada mereka yang telah lama menunggu pulang.
Lebaran juga perayaan bagi mereka yang usai menuntaskan ego. Di dalamnya ego terkikis dengan bara ramadhan sebulan penuh. Lebaran adalah puncak perjuangan dan ruang kebahagiaan. Memfitrahkan kembali manusia ke hakekat awalnya. Tabula rasa, bersih seperti kertas putih.
Di Indonesia, tradisi lebaran dirayakan dengan beragam cara. Paling umum, tradisi sungkeman kepada sesepuh di dalam keluarga, biasanya Kakek-Nenek. Lalu ada pula tradisi berkunjung. Tiap daerah punya namanya sendiri. Intinya saling berkunjung dan bermaaf-maafan kepada keluarga, kerabat, tetangga, hingga kawan sepermainan.
Satu lagi sebenarnya yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia ketika lebaran tiba, yakni membeli baju baru. Menjelang hari H, masyarakat ramai berbondong-bondong menuju toko-toko yang menawarkan diskon. Biasanya, sepuluh malam terakhir tempat perbelanjaan akan sesak dengan kerumunan masa. Pada hari-hari itu, diskon membludak dengan gila-gilanya. Momen yang tidak mungkin dilewatkan masyarakat Indonesia.
Tradisi ini sebenarnya tidak lahir tiba-tiba demi memuaskan nafsu berbelanja. Ia datang sudah sejak lama. Sejarah Indonesia mencatat bahwa tradisi ini dimulai sejak Kesultanan Banten berdiri. Pada saat itu ketika lebaran tiba, masyarakat merasa perlu mengenakan pakaian baru karena lebaran dianggap sebagai momen sakral. Bahkan petan-petani saat itu banyak yang beralih profesi menjadi tukang jahit demi pakaian baru di Hari Raya. Hingga kini, tradisi itu terus turun temurun menjamur di kalangan masyarakat Indonesia.
Esensi mengenakan pakaian baru secara tidak sadar di beberapa tempat mengalami pereduksian. Orang-orang kini hanya mengejar eksistensi semata. Yang penting punya baru dan bisa dipakai saat lebaran. Kemenangan yang seharusnya sudah diraih karena hati telah dicuci sebulan penuh kembali menuai godaan. Godaan untuk memamerkan, godaan bersuka riya di medsos, godaan untuk mencibir mereka yang tidak mengenakan pakian baru. Kemuliaan Lailatul Qadr tidak mengapa digadai dengan diskon yang menggiurkan dompet.
Padahal kebaruan pakaian di saat lebaran adalah simbol atas kebaruan diri yang sudah berjuang mengalahkan diri sendiri saat Ramadhan. Tanda atas kemenangan bukan kesombongan. Bukti bersama orang-orang sekitar pula yang suka cita merayakan kebahagiaan saat berkumpul. Karena yang terpenting sebenarnya bukan seberapa baru apalagi mahal pakaiaan yang melekat di badan, melainkan seberapa pantas kita melekatkan makna baru (fitrah) pada diri kita saat lebaran. Sebab kebahagiaan tidak melulu berbicara tentang hal-hal baru yang materialistik, ia bersumber jauh dari dalam lubuk sanubari.
Reduksi atas makna kebaruan diri tidak lepas dari roda zaman yang terus berputar. Ranah materialistik yang semakin menjamur bisa jadi menjadi salah satu sebabnya. Simbol-simbol yang dianggap mampu merepresentasikan keimanan seseorang dipercayai sebagai manifestasi atas kecintaan kepada Tuhan. Padahal hidup bukanlah perkara simbol semata. Hidup adalah pemaknaan atas perintah-Nya yang diwujudkan bukan sebatas simbol tetapi juga pada perkara tindakan dan ucapan.
Filosofi kebaruan ini apabila diresapi secara mendalam, maka niscaya akan melahirkan kedamaian. Terlebih lagi di Indonesiayang baru-baru ini melewati fase-fase kritis. Bencana yang datang berturut-turut, tensi politik yang kian memanas, hingga aksi kekerasan dan teror yang melanda negri.
Oleh karenanya, sangat disayangkan di hari kemenangan nanti kita masih berpikiran sempit dan hanya terkungkung pada pikiran harus punya pakaian baru. Tindakan yang harus kita lakukan ialah bagaimana sebisa mungkin meresapi proses Ramadhan yang telah dilalui. Menghadirkan kedamaian dan menghilangkan kebencian di dalam dada. Sebagaimana Nabi dan Para Sahabat yang dahulu melakukan perayaan Lebaran ketika ahun Kedua Hijriah sesaat setelah menang di Perang Badar. Mereka begitu suka cita, bukan hanya karena menang kala perang tetapi juga karena telah menaklukkan hawa nafsu setelah sebulan berpuasa.
Maka, lebaran sesungguhnya adalah membarukan niat dan diri. Melepaskan benci yang tersimpan di dada. Merelakan masa lalu yang menghantui di benak pikiran. Bukan terjebak pada anomali pakaian baru. Sebab lebaran adalah tempat bagi orang-orang yang berbahagia.
Imaduddin Fr – Duta Damai BNPT
Tinggalkan Balasan