Filosofi Kucing: Apakah Kucing Lebih Baik daripada Manusia?
Contents
Filosofi Kucing: Apakah Kucing Lebih Baik daripada Manusia?- Mayoritas dari kita pasti percaya bahwa manusia dan kucing itu berbeda. Kita kerapkali berpikir bahwa manusia merupakan spesies yang lebih baik daripada kucing karena kecerdasannya.
Tidak seperti kucing, kita dianggap sudah bisa membedakan sesuatu yang baik atau buruk. Bahkan manusia disebut mampu menahan naluri kehewanannya demi menciptakan dunia yang lebih baik.
Menariknya, justru kucing tidak pernah peduli dengan permasalahan moral. Jangankan permasalahan moral, untuk mengurusi permasalahannya sendiri supaya lebih baik (improvement) juga mereka tidak peduli.
Seekor kucing tidak pernah peduli dengan kucing lainnya, begitupun hubungannya dengan sosok majikan yang malah tampak seperti dirinya sendirilah majikannya itu. Tetapi apakah hal ini menunjukkan bahwa mereka (kucing) itu tidak bermoral atau bahkan makhluk yang kejam?
BACA JUGA: Workshop Bersama Budaya Membangun Paradigma Berbangsa
Filosofi Kucing Menurut John Gray
Menurut seorang filsuf bernama John Gray yang pernah menulis buku tentang “Feline Philosophy, Cats and the Meaning of Life”, kucing ternyata juga memiliki nilai moral dan termasuk bisa merasakan rasa cinta serta kasih sayang.
Walaupun memang seekor kucing terlihat berbeda, seakan mereka tidak pernah peduli terhadap banyak hal, akan tetapi ternyata mereka juga tetap memiliki kepedulian mendalam terhadap sesuatu.
Berbeda dengan manusia, kucing tidak memiliki agama apalagi filosofi tertentu terkait moralitas dan sebagainya. Sehingga mereka tentunya tidak memiliki semacam pandangan atau aturan hidup yang mengatur supaya kehidupannya berjalan dengan lebih baik.
Hal ini memperlihatkan seolah kucing sudah memiliki pengetahuannya sendiri secara otomatis tentang cara mereka menjalani kehidupan. Sudah jelas konsep ini seperti semacam antitesis daripada filosofi itu sendiri menurut versi manusia.
John Gray menjelaskan bahwa filosofi kucing dimulai dengan sebuah cerita tentang seorang filsuf yang menyakini bahwa kucingnya adalah seekor vegan. Gray sendiri menilai bahwa filsuf tersebut pasti sedang bercanda, akan tetapi itu bukan permasalahannya.
Pada intinya sang filsuf itu tetap meyakini bahwa kucingnya merupakan vegan setelah melihat perilakunya yang sering memilih makanan tanpa daging. Meskipun pada sisi lain, ternyata si kucing juga tetap memiliki kebiasaan untuk memburu hewan lainnya seperti tikus atau burung.
Dengan kata lain, sebenarnya si kucing tidak pernah peduli dengan ide moral dari pemiliknya yang menganggap dirinya adalah vegan. Seperti yang diketahui bahwa kucing merupakan hewan karnivora, yang mana tubuhnya akan selalu membutuhkan gizi dari daging hewan lainnya.
Apabila berbicara manusia yang merupakan makhluk omnivora (pemakan segala), maka mungkin bisa saja dia hanya memakan sayur-sayuran (vegan), akan tetapi hal tersebut tetap tidak berlaku pada kucing.
Kucing sendiri tetap tidak pernah merasa tersinggung apabila diperlakukan seperti itu oleh pemiliknya. Dia hanya menerima situasi tersebut sebagai fakta, selagi dirinya juga tetap menjalankan perilaku alamiah seperti biasanya.
Justru yang perlu dipertanyakan memang perilaku filsuf itu sendiri, yang malah memaksakan kehendaknya kepada kehidupan si kucing. Sebab bagaimanapun seekor kucing tidak memerlukan perintah moral apapun, karena mereka sudah tahu sendiri tentang cara untuk menjalani hidupnya.
Terlebih lagi, tidak seperti manusia, kucing cenderung sudah merasa bahagia dan santai secara alami. Sehingga mereka sudah tidak lagi memerlukan nasihat atau saran dari spesies lainnya yang justru cenderung hidupnya tidak bahagia.
Melalui kisah ini John Gray membuat kesimpulan bahwa sebenarnya sang filsuflah yang seharusnya belajar kepada si kucing, tentang cara sebenarnya untuk hidup. Sebab bagaimanapun justru manusia-lah yang pada umumnya merasa tidak pernah puas dengan keadaan alamiahnya.
Oleh karena itu, manusia akhirnya mengenal agama dan filsafat sebagai jawaban atas kegelisahan hidupnya. Setidaknya dengan hal tersebut, manusia dapat menentukan jalan hidupnya.
BACA JUGA: Pendidikan Pancasila: Jawaban Solutif dari Masa Lalu
Moralitas Manusia Cenderung Relatif
Ketika berbicara mengenai nilai moral memang lebih sering terkesan relatif, sebab semua orang pasti memiliki moralitasnya masing-masing. Selain itu, proses penentuan moral juga terus terjadi yang membuat hingga kini tidak ada nilai moral yang dianggap absolut.
Gray bahkan berpendapat bahwa orang-orang mendapatkan nilai moralnya sesungguhnya hanya berdasarkan perasaannya saja. Dengan kata lain, melalui perasaan itulah kemudian mereka mulai mencari fakta-fakta untuk memperkuat penilaian moralnya.
Berbeda dengan manusia yang terkadang egois dengan penilaian moralnya, kucing tidak pernah merasa gelisah dengan keadaannya sebagai kucing. Setidaknya sampai dirinya merasa nyaman dari ancaman dan bahaya di sekitarnya saja. Kucing akan senantiasa berdamai dengan keadaan, walaupun kerapkali harus menjumpai berbagai manusia yang mencoba mengaturnya.
Kucing menurut Gray merupakan makhluk yang pada dasarnya immoral atau ketentuan moralnya datang secara alamiah bukan rekayasa. Kucing bisa suatu saat menjadi galak apabila harus melindungi anaknya dari ancaman, tanpa memiliki rasa takut akan penilaian makhluk lain di sekitarnya.
BACA JUGA: Memahami Genealogi Perang
Domestifikasi Kucing Terhadap Manusia
Perlu diketahui juga kucing ternyata tidak pernah didomestifikasi sepenuhnya oleh manusia, tidak seperti anjing atau sapi misalnya. Sekitar 12.000 tahun yang lalu, kucing sebenarnya sudah hidup bersama manusia tepatnya di sekitar daerah Turki, Irak, dan Israel saat ini.
Manusia melihat ketika itu kucing bisa dimanfaatkan untuk melindungi lumbung pangannya dari serangan hama seperti tikus dan sebagainya. Oleh karena itu, akhirnya kucing mulai banyak dikenal sebagai hewan peliharaan manusia.
Meskipun demikian, sebenarnya dalam situasi ini kucing-lah yang paling diuntungkan dalam hubungan dengan manusia. Bahkan pada hari ini, manusia-lah yang seakan menjadi pelayan bagi kucing untuk memberinya makanan serta tempat tinggal. Padahal sesungguhnya kucing tidak pernah merasa membutuhkan kita.
Bisa dibilang Gray juga menyimpulkan melalui kondisi ini bahwa kenyataannya kucing-lah yang berhasil mendomestifikasi manusia. Metodenya itu melalui pengajaran untuk bisa mencintai hewan sepertinya.
Seperti yang diketahui, kucing merupakan makhluk yang sangat individualistik, mereka hanya bekerja sama sesekali dengan sejenisnya, namun sebagian besar mereka lebih suka menyendiri. Kucing juga tidak pernah menceritakan kehidupannya sebagai sebuah kisah, sehingga mereka tidak perlu susah payah mencari arti dari hidupnya seperti halnya manusia.
Walaupun kucing telah mengajari kita untuk hidup, namun bukan berarti kita harus menjadi seekor kucing. Hal itu diungkapkan oleh John Gray bahwa kita sebagai manusia juga tidak bisa mengubah fakta bahwa kita membutuhkan sebuah kisah untuk bisa bertahan hidup.
Kucing memang tidak pernah mengajari kita secara langsung. Bahkan hal tersebut mungkin saja tidak dianggap penting olehnya. Akan tetapi, John Gray setidaknya telah memberikan beberapa tips untuk kehidupan manusia di antaranya yaitu:
- Jangan pernah mencoba mengubah seseorang untuk bertindak rasional.
- Suatu kebodohan apabila kamu mengeluh tidak memiliki cukup waktu.
- Jangan mencari makna dalam penderitaan.
- Lebih baik untuk tidak memiliki keterikatan dengan orang lain, daripada kamu harus mencintai mereka.
- Lupakan tentang mencari kebahagian, nanti kamu akan menemukannya sendiri.
- Kehidupan bukan sebuah kisah.
- Jangan takut gelap, karena banyak yang berharga ditemukan di malam hari.
- Tidurlah untuk kenikmatan dari keterlelapan.
- Sadarilah siapapun yang menawarkan kebahagiaan kepadamu.
- Apabila kamu tidak bisa belajar sedikit saja untuk hidup seperti kucing, kembalilah tanpa penyesalan ke dalam dunia sebagai manusia.
Tinggalkan Balasan