free page hit counter

Seksinya Angkringan Jogja

Angkringan Jogja

Seksinya Angkringan Jogja

Kota istimewa Yogyakarta berkembang menjadi kota modern, terbukti dengan menjamurnya pusat perbelanjaan atau mall-mall besar, hotel, restaurant dan caffe yang disesuaikan dengan selera anak muda zaman sekarang. Di tengah derasnya perkembangan modernisasi kota Yogyakarta ternyata terdapat satu usaha yang masih bertahan dan mudah untuk kita jumpai, yaitu angkringan Jogja.

Angkringan menjadi salah satu tempat favorit dari berbagai lapisan masyarakat untuk berkumpul dan bercengkerama membicarakan hal-hal ringan hingga yang serius. Beragam model angkringan dapat ditemukan di Yogyakarta. Misalnya seperti Bento, Kopi Jos, Sego Kucing, atau Kafe Basa-Basi yang telah memiliki beberapa cabang di Sorowajan Bantul atau Condongcatur Sleman.

BACA JUGA: Al Qur’an dan Hadits Tentang Muamalah

Posisi angkringan yang berada dipinggir jalan atau masuk ke gang-gang kecil bahkan ada yang diemperan rumah dengan beratapkan tenda terbuka telah menjadi ciri khas yang tidak dapat tergantikan, apalagi bila dilengkapi dengan lampu sentir atau lampu templok beserta jajanan-jajanan pasar seperti kacang godog, bakwan, mendoan, sate telur puyuh, sate usus dan lain sebagainya.

Ternyata, fenomena maraknya angkringan di kota Yogyakarta telah membawa kebiasaan dalam kehidupan masyarakat. Angkringan sebagai usaha turun temurun yang menyajikan sego kucing dan teh panas nampaknya memiliki nilai kearifan yang tidak boleh diabaikan oleh generasi milenial.

BACA JUGA: Metode AKM Dalam Persepektif Pembelajaran

Serunya Mengunjungi Angkringan Jogja

Angkringan Jogja
Photo via: Kompas

Alif Pribadi, seorang mahasiswa Universitas Mercubuana mengatakan bahwa dirinya sering datang ke angkringan untuk sekedar mengisi perut saat lapar atau membuka ruang diskusi sekaligus bersilaturahmi dengan orang-orang baru yang ditemuinya. Dia juga menjelaskan bahwa angkringan  menjadi tempat berkumpulnya masyarakat tanpa melihat perbedaan dan latar belakang. Banyak kenyamanan terlahir dari angkringan-angkringan yang pernah dikunjunginya. Dia sering saling bertegur sapa dan bercerita dengan orang-orang baru yang sama-sama mangkal diangkringan. Tentu saja, kondisi ini membuatnya beranggapan bahwa diangkringan aku, kamu dan kita sedang sama-sama menikmati kebersamaan.

BACA JUGA: Audiensi Duta Damai Yogyakarta dengan Badan Kesbangpol Daerah Istimewa Yogyakarta

Sedangkan menurut Vito Ardiansyah, angkringan menjadi wisata edukasi tentang kesederhanaan makanan rakyat yang tidak mahal karena ramah dikantong masyarakat dari berbagai golongan. Baginya, angkringan menggambarkan sikap tekun yang dimiliki oleh masyarakat Yogyakarta karena dibuka pada saat malam hari, dimana malam hari adalah waktu yang umumnya digunakan oleh orang-orang untuk beristirahat.

Fenomena angkringan ini sesuai dengan falsafah hidup yang lahir dan hingga kini dipegang oleh masyarakat Yogyakarta, yaitu urip iku urup atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagia hidup itu menyala, maksudnya sebagai sesama manusia sudah sepantasnya untuk saling menebar kebermanfataan. Angkringan yang terlihat sederhana sejatinya telah merepresentasikan falsafah kearifan lokal kota istimewa ini. Dimana setiap aktivitasnya terdapat kebermanfataan antara orang yang satu dengan yang lainnya.

Editor: Bennartho Denys

Share this post

Comment (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *